Milisi pemberontak Bougainville yang sedang berdiri di dekat tambang tembaga Bougainville. (theaustralian.com.au) |
Papua Nugini. Itulah nama dari negara tetangga Indonesia di sebelah timur yang berbatasan langsung dengan Provinsi Papua. Dan seperti halnya Provinsi Papua milik Indonesia, Papua Nugini juga dikaruniai oleh keindahan & kekayaan alam yang melimpah.
Namun, tidak selamanya kekayaan alam yang dimiliki Papua Nugini membawa dampak positif bagi empunya. Kekayaan alam yang dikandungnya pula yang membuat salah satu daerah di Papua Nugini sempat dilanda pergolakan panjang...
Pergolakan yang dimaksud dalam artikel ini terjadi di Pulau Bougainville, sebuah pulau yang terletak di wilayah Papua Nugini sebelah timur. Pergolakan tersebut aslinya adalah konflik bersenjata antara Papua Nugini melawan kelompok separatis Bougainville Revolutionary Army (BRA; Tentara Revolusi Bougainville) yang berlangsung antara tahun 1997 hingga 1988.
Konflik di Bougainville ini sempat diangkat dalam sebuah film dokumenter buatan Inggris berjudul "The Coconut Revolution" (Revolusi Kelapa) yang sukses menyabet aneka penghargaan dalam ajang internasional.
LATAR BELAKANG
1. Kontroversi Atas Aktivitas Penambangan
Pulau Bougainville memiliki tanah yang kaya akan barang tambang, khususnya tembaga di mana kandungan tembaga di Bougainville disebut-sebut sebagai salah satu yang tertinggi di dunia. Penambangan tembaga di Bougainville sendiri dimulai pada tahun 1964 oleh perusahaan Rio Tinto Zinc (RTZ) yang berbasis di Inggris via cabang perusahaannya di Bougainville, Bougainville Copper Limited (BCL).
Saat membuka area penambangan, perusahaan BCL membabat areal hutan di Bougainville seluas 200 hektar lebih. Orang-orang dari luar Bougainville juga mulai didatangkan untuk menjadi pekerja di sana. Aktivitas penambangan tembaga di Bougainville mulai mengundang kontroversi ketika menjelang akhir dekade 1960-an, para penduduk asli Bougainville mengeluhkan bahwa mereka tidak mendapatkan kompensasi yang sepadan dari aktivitas penambangan tembaga di tanah mereka.
Para pekerja tambang yang berasal dari golongan penduduk asli Bougainville juga mengaku bahwa mereka mendapat upah lebih rendah ketimbang pekerja non-Bougainville & hanya diberi fasilitas seadanya. Selain masalah kompensasi & upah, perusahaan BCL juga dituduh melakukan perusakan lingkungan dengan membuang limbah pertambangan ke sungai-sungai yang digunakan penduduk setempat.
Suasana di kompleks penambangan tembaga di Bougainville. (jeffshea.com) |
Keluhan dari penduduk Bougainville tersebut lantas diproses oleh Pengadilan Tinggi Australia mengingat pada periode tersebut, Papua Nugini - termasuk Bougainville - masih berstatus sebagai bagian dari wilayah Australia. Hasilnya, Pengadilan Tinggi Australia pun memutuskan bahwa para penduduk lokal Bougainville memang mendapatkan kompensasi yang tidak sepadan.
Kendati demikian, status Papua Nugini yang dianggap sebagai wilayah seberang lautan Australia membuat keputusan pengadilan tersebut sifatnya tidak mengikat. Akibatnya, masalah kompensasi untuk penduduk lokal Bougainville pun tetap terkatung-katung.
2. Perbedaan Sosial Budaya & Masalah Status Internasional
Walaupun termasuk ke dalam wilayah Papua Nugini, jika ditinjau dari segi sosial budayanya & fisiknya, para penduduk Bougainville disebut-sebut memiliki kekerabatan lebih dekat dengan penduduk Kepulauan Solomon, suatu negara kepulauan yang terletak di sebelah timur Papua Nugini.
Faktor sosial budaya tersebut yang dikombinasikan dengan konflik atas penambangan tembaga yang tidak terselesaikan lantas membuat penduduk Bougainville enggan menganggap diri mereka sebagai bagian dari Papua Nugini & lebih suka diberi keleluasaan untuk menentukan status politik pulaunya sendiri.
Maka pada tanggal 1 September 1975 - hanya berselang beberapa hari sebelum kemerdekaan resmi Papua Nugini - sejumlah orang di Bougainville memproklamasikan kemerdekaan Bougainville dengan nama "Republik Solomon Utara" di mana proklamasi kemerdekaan tersebut tidak diakui oleh dunia internasional sehingga Bougainville secara de jure tetap dianggap sebagai bagian dari negara Papua Nugini.
Pasca proklamasi kemerdekaan sepihak tersebut, pemimpin Solomon Utara alias Bougainville berusaha meminta pengakuan dari PBB, namun gagal. Kegagalan tersebut lalu diikuti dengan melunaknya sikap pemerintah Solomon Utara di mana mereka mau mengakui kedaulatan Papua Nugini & sebagai gantinya, Papua Nugini akan memberikan kemerdekaan resmi kepada Bougainville 5 tahun kemudian.
Kenyataannya, kemerdekaan yang dijanjikan Papua Nugini tidak kunjung datang sehingga para penduduk Bougainville pun mulai merasa dibohongi. Buntutnya, hubungan penduduk Bougainville dengan pemerintah pusat Papua Nugini pun semakin lama semakin meregang hingga akhirnya memuncak menjadi konflik bersenjata.
Peta Papua Nugini yang menampilkan lokasi Bougainville. (bbc.co.uk) |
BERJALANNYA PERANG
Meletusnya Konflik Menentang Penambangan
Bulan November 1988, Francis Ona - seorang penduduk asli Bougainville yang sempat bekerja di BCL - mendirikan kelompok bersenjata Bougainville Revolutionary Army (BRA; Tentara Revolusioner Bougainville) menyusul klaim dari perusahaan BCL bahwa sungai di dekat lokasi pertambangan tidak tercemar.
Tak lama usai berdiri, BRA memulai aktivitasnya dengan menyerang kompleks pertambangan milik BCL & mencuri bahan-bahan peledak yang tersimpan di dalamnya. Dalam aksi penyerangan tersebut, para anggota BRA juga dibantu oleh Sam Kauona, anggota tentara Papua Nugini yang bersimpati pada perjuangan BRA.
Menyusul semakin meningkatnya intensitas aksi-aksi penyerangan & pengrusakan yang dilakukan oleh para anggota BRA, pemerintah Papua Nugini pun mulai memberlakukan status keadaan darurat di Bougainville pada bulan Desember 1988.
Para anggota tentara & polisi mulai diterjunkan untuk meredam aktivitas BRA, namun gagal. Yang terjadi justru adalah intensitas konflik di Bougainville semakin meningkat sehingga di bulan Mei 1989, BCL terpaksa menutup kompleks pertambangannya di Bougainville.
Menyusul semakin memanasnya situasi di Bougainville & ditutupnya kompleks pertambangan di sana, Australia pun meningkatkan dukungannya pada Papua Nugini. Bantuan finansial & beberapa unit helikopter tempur diberikan kepada militer Papua Nugini. Penduduk Australia juga diajak untuk menjadi relawan perang di medan konflik Bougainville.
Dengan aneka bantuan tersebut, pasukan Papua Nugini pun melancarkan serangan baru ke Pulau Bougainville pada bulan Januari 1990. Namun secara mengejutkan, pasukan BRA dengan persenjataan seadanya berhasil menahan serangan yang dilakukan oleh pasukan Papua Nugini.
Francis Ona (baju terang) bersama para anggota BRA. (theage.com.au) |
Dimulainya Blokade yang Memecah Belah
Kegagalan mengalahkan BRA lantas membuat Papua Nugini memutuskan untuk menarik pasukannya dari Bougainville & menempuh taktik baru. Taktik tersebut adalah memblokade total Pulau Bougainville sehingga pulau tersebut kehilangan akses ke dunia luar & kebutuhan-kebutuhan pokok semisal bahan bakar serta produk industri tidak bisa memasuki pulau tersebut.
Harapannya, seiring berjalannya waktu selama blokade berlangsung, rakyat Bougainville yang tidak tahan karena harus hidup dalam kondisi serba terbatas akan mulai terlibat konflik satu sama lain sehingga kekuatan mereka melemah & tidak sanggup lagi meneruskan pemberontakan.
Merespon blokade yang dilakukan Papua Nugini, kelompok BRA lantas mendeklarasikan kemerdekaan Bougainville secara sepihak & mendirikan Bougainville Interim Government (BIG; Pemerintahan Sementara Bougainville) sebagai badan pemerintahan bagi "negara" Bougainville.
Perlahan tapi pasti, blokade yang dilakukan oleh pemerintah Papua Nugini mulai terasa efeknya bagi para penduduk Bougainville. Benda-benda kebutuhan pokok yang masih tersedia di Bougainville semakin lama semakin terbatas jumlahnya.
Sebagai cara untuk bertahan hidup, para penduduk Bougainville pun terpaksa mulai menjalani pola hidup tradisional. Peralatan-peralatan yang masih tersisa di kompleks pertambangan dialih fungsikan sebagai perabotan sehari-hari. Untuk mendapatkan listrik, para penduduk Bougainville memakai minyak kelapa sebagai bahan bakar bagi generator listriknya. Dengan kondisi serba terbatas tersebut, penduduk Bougainville nyatanya bisa tetap bertahan.
Penduduk asli Bougainville yang sedang membuat minyak kelapa. (eco-action.org) |
Usaha untuk bertahan hidup dengan kondisi seadanya nyatanya tidak berjalan terlalu mulus. Aktivitas kriminal & premanisme semakin merajarela di seantero Pulau Bougainville sehingga pihak BRA terpaksa meresponnya dengan menerapkan metode tangan besi & intimidasi memakai senjata.
Ketika semakin banyak penduduk Bougainville yang tidak tahan karena harus hidup dalam kondisi serba terbatas, perpecahan pun mulai timbul dalam tubuh BRA di mana para anggota BRA yang bermukim di Buka - sebuah pulau kecil di utara Pulau Bougainville - memutuskan untuk membelot & mendirikan kelompok baru yang bernama Buka Liberation Front (BLF; Front Pembebasan Buka).
Perpecahan yang dialami BRA tidak disia-siakan oleh Papua Nugini. Maka, pada bulan September 1990, pasukan Papua Nugini melancarkan serangan ke Pulau Buka di mana serangan tersebut berujung pada keberhasilan pasukan Papua Nugini menduduki pulau tersebut.
Keberhasilan tersebut juga tidak lepas dari fakta bahwa saat penyerangan terjadi, para anggota BLF memberikan dukungannya pada pasukan Papua Nugini. Namun selain jatuhnya Pulau Buka ke tengan Papua Nugini, tidak ada perubahan berarti di medan konflik & aktivitas blokade tetap berjalan.
Perundingan yang Diwarnai Penolakan & Perpecahan
Tahun 1991, pasukan Papua Nugini menghentikan blokade & memulai perundingan dengan perwakilan BRA di Honiara, Kepulauan Solomon. Sayangnya, perundingan tersebut harus berakhir tanpa hasil sehingga Papua Nugini pun kembali menerapkan blokade atas Bougainville tak lama berselang.
Hingga beberapa tahun berikutnya, selain tetap melakukan blokade, pasukan Papua Nugini juga beberapa kali melakukan serangan ke sejumlah lokasi di Kepulauan Solomon dengan alasan lokasi-lokasi tersebut merupakan markas rahasia para simpatisan BRA di luar Pulau Bougainville.
Tentara Papua Nugini. (36th-parallel.com) |
Bulan September 1994, terjadi perubahan dalam tubuh pemerintahan Papua Nugini di mana Sir Julius Chan terpilih sebagai perdana menteri (PM) baru Papua Nugini. Hanya beberapa hari usai dilantik, PM Chan berhasil meraih kesepakatan damai dengan perwakilan dari BRA, Sam Kaouna, di Honiara, Kepulauan Solomon.
Dicapainya kesepakatan damai tersebut lantas diikuti dengan rencana pelaksanaan konferensi perdamaian lanjutan di Pulau Arawa, Bougainville timur. Konferensi damai yang direncanakan pada akhirnya memang terlaksana, namun tidak dihadiri oleh semua anggota BRA karena adanya kekhawatiran bahwa mereka akan ditangkap setibanya di lokasi konferensi.
Bulan April 1995, Papua Nugini & Australia mendirikan Bougainville Transitional Government (BTG; Pemerintahan Transisi Bougainville) dengan Theodore Miriung - bekas petinggi BIG - sebagai pemimpinnya. Tujuan pembentukan BTG adalah sebagai badan pemerintahan sementara Pulau Bougainville yang diakui oleh Papua Nugini.
Pembentukan BTG sendiri tidak diakui oleh BIG yang masih mengklaim dirinya sebagai penguasa Bougainville. Sebagai akibatnya, Bougainville pun ibarat memiliki pemerintahan kembar : BIG & BTG. Di tahun yang sama, aktivitas penerbangan di Bougainville juga sempat lumpuh karena para anggota BRA mulai menargetkan pesawat-pesawat komersial yang terbang di atas Bougainville.
Menyusul semakin berlarut-larutnya perkembangan perundingan damai karena penolakan yang diberikan oleh para anggota BIG untuk duduk semeja, PM Chan pun memutuskan untuk beralih ke metode yang lebih keras demi mengakhiri konflik : metode militer.
Sebagai permulaan, pada bulan Maret 1996 pasukan Papua Nugini melancarkan serangan ke Bougainville dengan kode sandi "Operasi Kecepatan Tinggi II" (Operation High Speed II). Namun, operasi militer tersebut harus berakhir dengan kegagalan & para anggota BRA berhasil menahan beberapa tentara Papua Nugini berikut stok persenjataan yang mereka bawa.
Perdana Menteri Papua Nugini, Sir Julius Chan. (abc.net.au) |
"Skandal Sandline" Menjelang Kesepakatan Damai
Kegagalan "Operasi Kecepatan Tinggi II" membuat Chan semakin frustrasi, terlebih setelah Australia & Selandia Baru menolak memberikan bantuan militer lebih jauh. Sebagai solusi alternatif, pada bulan Februari 1997 Chan pun memutuskan untuk mengontrak tentara-tentara bayaran milik perusahaan militer swasta Sandline International yang bermarkas di Inggris.
Namun sebelum para tentara bayaran tersebut benar-benar diterjunkan di medan konflik, perjanjian yang dibuat oleh Chan dengan Sandline bocor ke publik & mengundang kemarahan dari pihak militer Papua Nugini yang merasa dikesampingkan.
Sebulan kemudian, pemilu parlemen digelar di Papua Nugini di mana hasilnya, partai berhaluan kiri yang mengusung Billy Skate berhasil keluar sebagai pemenang. Skate pun dilantik sebagai perdana menteri yang baru.
Pasca terpilihnya Skate, terjadi perkembangan signifikan dalam perundingan damai atas Bougainville. Di bulan Oktober 1997, perwakilan dari Papua Nugini & BRA berhasil meraih kesepakatan damai yang menjamin tidak akan ada lagi eksploitasi tembaga di Bougainville.
Tak lama berselang, status keadaan darurat & blokade atas Bougainville dicabut. Pasukan perdamaian yang terdiri dari ratusan tentara negara-negara Oseania juga mulai diterjunkan ke Bougainville untuk mengembalikan kembali stabilitas & keamanan negara tersebut yang sempat kacau akibat blokade & konflik berkepanjangan.
Papan "No Go Zone" yang melarang orang-orang luar Bougainville untuk memasuki kompleks pertambangan. (myamazingparadise.com) |
Tanggal 23 Januari 1998, perjanjian damai permanen antara Papua Nugini & BIG akhirnya berhasil disepakati. Beberapa poin penting dalam perjanjian tersebut adalah senjata-senjata di Pulau Bougainville akan dilucuti, pasukan Papua Nugini akan ditarik sepenuhnya dari Bougainville, & pemilu untuk menentukan susunan pemerintahan otonomi Bougainville akan digelar pada tahun yang sama. Dengan dicapainya perjanjian damai tersebut, maka konflik separatisme di Bougainville pun secara resmi berakhir.
KONDISI PASCA PERANG
Konflik separatisme di Bougainville berlangsung selama sekitar 10 tahun di mana konflik tersebut mengakibatkan korban tewas sebanyak 20.000 jiwa & kerugian material mencapai 2,5 milyar dollar AS.
Dan sesuai dengan salah satu poin dalam kesepakatan damai, aktivitas penambangan tembaga di Bougainville yang dulu menjadi salah satu sumber pendapatan nasional tidak dilanjutkan lagi hingga sekarang. Pemerintah Papua Nugini di tahun 2001 juga menjanjikan akan menggelar referendum kemerdekaan 5 tahun kemudian, namun nyatanya referendum yang direncanakan masih belum terealisasi hingga sekarang.
Sejak bulan April 1998 alias beberapa bulan pasca disahkannya perjanjian damai, kelompok pengawas perdamaian di Bougainville memulai "Operasi Damai" (Operasi Bel Isi) di mana dalam operasi tersebut, pasukan gabungan Papua Nugini, Kepulauan Solomon, Australia, & Selandia Baru diterjunkan untuk mengawasi berjalannya proses perdamaian & rekonstruksi di Bougainville.
"Operasi Damai" berjalan selama 5 tahun. Selama berjalannya operasi, Australia menerjunkan 3.500 personil militer & mengucurkan bantuan finansial hingga 243 juta dollar AS.
Iring-iringan kendaraan milik pasukan penjaga perdamaian Bougainville. (teara.govt.nz) |
Kesepakatan damai antara Papua Nugini & BIG sendiri sebenarnya tidak diterima oleh semua pihak. Francis Ona selaku pendiri kelompok BRA contohnya, saat terjadi perundingan damai memilih untuk tidak datang sehingga ia enggan mengakui isi perjanjian damai tersebut hingga sekarang.
Para milisi pengikut Ona juga masih menguasai separuh Pulau Bougainville hingga sekarang. Untungnya, Ona sendiri memilih tetap bersikap pasif sehingga kondisi Pulau Bougainville tetap kondusif hingga Ona menghembuskan nafas terakhirnya di tahun 2005 akibat penyakit malaria. - © Rep. Eusosialis Tawon
RINGKASAN PERANG
Waktu & Lokasi Pertempuran
- Waktu : 1988 - 1998
- Lokasi : Bougainville
Pihak yang Bertempur
(Negara) - Papua Nugini, Australia,
(Grup) - milisi-milisi anti-BRA
melawan
(Grup) - BRA
Hasil Akhir
- Perang berakhir tanpa pemenang
- Aktivitas penambangan tembaga di Bougainville tidak dilanjutkan
- Pemberian status otonomi khusus kepada Provinsi Bougainville
Korban Jiwa
Sekitar 20.000 jiwa
REFERENSI
Cornish, M.. 2010. "The Bougainville conflict: A classic outcome of the resource-curse effect?".
(www.monitor.upeace.org/archive.cfm?id_article=74%20)
Field, M.J.. 1998. "Chronology of Bougainville Civil War".
(www.hartford-hwp.com/archives/24/157.html)
Minorities at Risk Project. 2004. "Chronology for Bouganvilleans in Papua New Guinea".
(www.unhcr.org/refworld/topic,463af2212,469f2ebe2,469f38ca17,0,,,.html%20)
Solidarity South Pacific. "Ecological Revolution on Bougainville".
(www.eco-action.org/ssp/bougainville.html)
Westgarth, C.C.. 2001. "Australia: The Sandline Affair Illegality And International Law".
(www.mondaq.com/australia/article.asp?articleid=12836)
Wikipedia. "Francis Ona".
(en.wikipedia.org/wiki/Francis_Ona)
Wikipedia. "History of Bougainville - Operation Bel Isi".
(en.wikipedia.org/wiki/History_of_Bougainville#Operation_Bel_Isi_.28.22Peace.22.29_-_30_April_1998_-_23_August_2003)
Wikipedia. "The Coconut Revolution".
(en.wikipedia.org/wiki/The_Coconut_Revolution)
COBA JUGA HINGGAP KE SINI...
perang lagi
BalasHapusperang lagi
this is really amazing article, ans hilarious too.
BalasHapusMantap...
BalasHapuskapitalis serakah rio tinto penyebab semuanya
BalasHapusmin..request artikel tntang pembrontakan papua di indonesia dong,, yg masih terjadi smpai skrg
BalasHapusMoga hal ini tidak terjadi d freeport indonesia
BalasHapusGutla toksave.
BalasHapusujung2nya di invasi juga sama australia diboncengin tentara png embel2 perdamaian macam dulu belanda bonceng sekutu hahaa bule paok emang
BalasHapus