Pasukan kavaleri unta Frente Polisario. (sangam.org) |
Semua orang pasti tahu yang namanya Sahara. Yup, itu adalah nama dari kawasan padang pasir di Benua Afrika bagian utara yang juga dikenal sebagai padang pasir terluas di dunia. Biarpun wilayahnya hanya berupa gurun pasir yang gersang, bukan berarti Sahara tidak dihuni manusia sama sekali. Ada beberapa negara yang sebagian atau seluruh wilayahnya terletak di kawasan Gurun Sahara.
Dari sekian banyak negara tersebut, ada pula wilayah bernama Sahara Barat yang terletak di pojok barat laut Gurun Sahara & menjadi arena perebutan selama puluhan tahun hingga sekarang. Nah, salah satu pihak yang terlibat dalam perebutan tersebut adalah Frente Polisario, topik pembahasan dalam artikel kali ini.
Frente Polisario atau lengkapnya Frente Popular de Liberacion de Saguia el Hamra y Rio de Oro (Front Populer untuk Pembebasan Saguia el Hamra & Rio de Oro) adalah nama dari suatu kelompok yang sejak tahun 1973 berjuang untuk kemerdekaan Saguia el hamra & Rio de Oro, 2 wilayah yang menyusun Sahara Barat.
Awalnya Frente Polisario dibentuk untuk memerdekakan Sahara Barat dari penjajahan Spanyol saat itu. Namun setelah Spanyol angkat kaki di tahun 1976, Polisario juga mulai terlibat konflik dengan Maroko yang mengklaim Sahara Barat sebagai bagian dari wilayahnya. Walaupun sudah tidak lagi mengangkat senjata sejak tahun 1991, Polisario masih tetap getol mengkampanyekan isu kemerdekaan Sahara Barat & kerap terlibat perang urat saraf dengan Maroko hingga sekarang.
LATAR BELAKANG & PEMBENTUKAN
Sejak tahun 1884, wilayah Sahara Barat dikuasai oleh Spanyol dengan nama koloni "Sahara Spanyol". Layaknya kolonisasi yang dilakukan negara-negara Eropa lainnya, upaya Spanyol untuk menjadikan Sahara Barat sebagai wilayah kekuasaannya juga awalnya tidak mulus & diwarnai aneka pergolakan yang dilakukan oleh penduduk lokal.
Namun, lebih superiornya kekuatan militer Spanyol & adanya bantuan dari Prancis - negara Eropa lain yang saat itu juga memiliki sejumlah koloni di wilayah Afrika Utara - membuat Spanyol akhirnya bisa meredam aneka pergolakan tersebut & menancapkan pengaruhnya atas Sahara Barat secara penuh di tahun 1958.
Sahara Barat (Western Sahara) seperti yang terlihat pada peta. (awsa.org.au) |
Walaupun Spanyol berhasil menegaskan klaimnya atas Sahara Barat sejak tahun 1958, aksi penolakan penduduk setempat terhadap kekuasaan Spanyol atas wilayah tersebut tidak pernah pudar. Salah satu kelompok bentukan para penduduk setempat yang vokal menentang kekuasaan Spanyol atas Sahara Barat adalah "Harakat Tahrir" (HT; Gerakan Pembebasan) yang didirikan pada tahun 1967.
Seiring berjalannya waktu, HT berhasil mengumpulkan dukungan dari para penduduk lokal & sempat melakukan demonstrasi besar-besaran di tahun 1970. Ketika demonstrasi tersebut berubah menjadi rusuh, pihak Spanyol pun memutuskan untuk membubarkan HT & menculik pemimpinnya, Muhammad Bassiri.
Dibubarkannya HT tidak lantas memadamkan konflik, tapi malah semakin memperkeruh keadaan & meningkatkan sentimen anti-Spanyol di seantero Sahara Barat. Merespon situasi tersebut, sejumlah penduduk asli Sahara Barat yang sedang bermukim di Mauritania lantas memutuskan untuk mendirikan kelompok berhaluan nasionalis sayap kiri bernama Frente Polisario pada tanggal 10 Mei 1973.
Tujuan utama dari pendirian Polisario adalah untuk memerdekakan Sahara Barat dari tangan Spanyol lewat jalur perlawanan bersenjata. Sejak saat itulah, konflik terbuka antara pasukan Polisario & militer Spanyol atas daratan Sahara Barat pun dimulai.
AKTIVITAS POLISARIO
Polisario versus Spanyol
Tanggal 20 Mei 1973, para anggota Polisario menyerang pos militer Tropas Nomadas - pasukan pro-Spanyol yang beranggotakan penduduk asli Sahara barat - & mengamankan sejumlah besar stok persenjataan di dalamnya.
Seiring berjalannya waktu, Polisario semakin dominan di medan perang & secara perlahan tapi pasti berhasil menguasai wilayah-wilayah Sahara Barat yang sebelumnya dikuasai Spanyol. Situasi semakin runyam bagi Spanyol setelah para anggota Tropas Nomadas semakin banyak yang membelot ke kubu Polisario sambil membawa stok persenjataan miliknya.
Pihak Spanyol sendiri masih berupaya untuk mempertahankan kekuasaannya atas Sahara Barat & meredam aktivitas pemberontakan Polisario. Namun menyusul semakin menurunnya kesehatan dari pemimpin Spanyol Fransisco Franco, pemerintah Spanyol pun mulai melunak & bersedia melakukan negosiasi dengan perwakilan Polisario di tahun 1975. Awalnya Spanyol berencana untuk memerdekakan Sahara Barat sesuai dengan keinginan kubu Polisario.
Pasukan Tropas Nomadas. (lasonet.com) |
Namun, masalah baru muncul ketika Maroko & Mauritania - 2 negara yang berbatasan langsung dengan Sahara Barat - menyatakan penolakannya karena menganggap bahwa secara historis, Sahara Barat adalah bagian dari wilayah keduanya & Spanyol harus menyerahkan Sahara Barat ke Maroko atau Mauritania.
Mulai berlarut-larutnya masalah atas Sahara Barat akhirnya membuat Pengadilan Internasional mulai dilibatkan untuk mengatasinya. Bulan oktober 1975, Pengadilan Internasional akhirnya mengeluarkan putusan bahwa klaim Maroko & Mauritania atas Sahara Barat tidaklah sah. Pengadilan Internasional juga meminta Spanyol untuk segera menggelar referendum demi memutuskan masa depan dari Sahara Barat.
Namun, putusan dari Pengadilan Internasional tersebut ternyata mendapat penolakan dari kubu Maroko yang pada bulan November 1975 memerintahkan 300.000 penduduknya untuk berdemonstrasi sambil berparade memasuki wilayah Sahara Barat.
Iring-iringan para demonstran Maroko ke Sahara Barat yang juga dikenal sebagai "Barisan Hijau" (Green March) tersebut berhasil membuat Spanyol membatalkan niatnya untuk menggelar referendum sesuai keputusan Pengadilan Internasional. Maka, berdasarkan perundingan yang dilakukan di Madrid pada bulan November 1975, Spanyol akhirnya setuju untuk menyerahkan kendali Sahara Barat ke tangan Maroko & Mauritania.
Perundingan itu sendiri tidak melibatkan perwakilan dari Polisario. Dengan demikian, kekuasaan Spanyol atas Sahara Barat pun berakhir & persaingan antara Maroko serta Mauritania atas Sahara Barat dimulai. Dan sejak saat itu pula, fase baru dari perjuangan Polisario pun dimulai.
Suasana dalam parade demonstrasi Barisan Hijau. (moroccoworldnews.com) |
Polisario versus Maroko & Mauritania
Timbulnya gesekan antara kubu Polisario dengan Maroko & Mauritania lantas dimanfaatkan oleh Aljazair yang memiliki hubungan kurang baik dengan Maroko untuk membantu Polisario. Selain memberikan bantuan uang & persenjataan, pihak Aljazair juga memberikan izin bagi Polisario untuk mendirikan markas di Tindouf, Aljazair, pada tahun 1976.
Libya juga memberikan dukungannya pada Polisario karena tertarik akan ideologi sayap kiri yang diusung kelompok tersebut. Di luar Afrika, Polisario juga memiliki hubungan dekat dengan kelompok Fretilin di Timor Leste karena kedua kelompok tersebut merasa punya kesamaan sejarah dalam aktivitas perjuangannya.
Kembali ke medan perang, konflik antara pasukan Polisario melawan pasukan Maroko & Mauritania akhirnya pecah pada tahun 1976 ketika di awal tahun tersebut, pesawat-pesawat tempur Maroko membombardir kamp-kamp pengungsi penduduk Sahara Barat. Polisario lantas membalasnya dengan melakukan serangan-serangan mendadak ke basis pertahanan kedua negara.
Di tahun yang sama, Polisario juga mendeklarasikan berdirinya negara merdeka Republik Demokratik Arab Sahrawi (RDAS), namun masih belum terselesaikannya sengketa atas wilayah Sahara barat membuat RDAS tidak bisa langsung mendapat pengakuan dari dunia internasional.
Tahun demi tahun terus berlalu. Aksi jual beli serangan antara kedua belah pihak terus terjadi. Jumlah orang yang menjadi anggota baru Polisario juga terus bertambah, namun nyatanya hal tersebut masih belum cukup untuk mengalahkan pasukan Maroko & Mauritania yang notabene memang lebih profesional.
Kendaraan tempur pasukan Maroko di Sahara Barat. (acig.org) |
Memasuki tahun 1979, intensitas perang mulai sedikit menurun setelah di tahun tersebut, Mauritania menarik pasukannya dari Sahara Barat usai pergantian kekuasaan yang terjadi di negara tersebut. Mundurnya Mauritania lantas diikuti dengan klaim Maroko atas wilayah Sahara Barat yang sebelumnya dikuasai oleh Mauritania & perang pun masih terus berlanjut antara kubu Maroko melawan kubu Polisario.
Memasuki dekade 1980-an, Maroko memutuskan untuk membangun tembok pasir raksasa bernama "Tembok Maroko" dengan tujuan mencegah serangan-serangan pasukan Polisario di wilayah kekuasaan Maroko. Pendirian Tembok Maroko sekaligus ibarat membagi Sahara Barat menjadi 2 bagian : wilayah barat yang dikuasai Maroko & wilayah timur yang dikuasai Polisario.
Pasca pendirian Tembok Maroko, bentrokan antara kedua belah pihak lebih banyak berupa jual beli serangan artileri serta tembakan sembunyi-sembunyi (sniping). Sebagai akibatnya, hingga beberapa tahun berikutnya tidak ada perubahan berarti di garis depan.
Buntunya alur peperangan & semakin terisolasinya Maroko di dunia internasional akibat tindakannya di Sahara Barat membuat PBB mulai campur tangan & memfasilitasi perundingan kedua belah pihak pada tahun 1990. Hasilnya, di tahun 1991 kedua belah pihak sepakat untuk melakukan gencatan senjata & segera menggelar referendum untuk menentukan masa depan Sahara Barat.
Pasukan perdamaian dengan nama United Nations Mission for the Referendum in Western Sahara (MINURSO; Misi PBB untuk Referendum di Sahara Barat) juga diterjunkan untuk mengawasi jalannya kesepakatan damai antara kedua belah pihak. Dengan demikian, riwayat perjuangan bersenjata dari Polisario pun berakhir. Namun kelompok tersebut masih tetap eksis sebagai perwakilan dari rakyat Sahara Barat yang pro-kemerdekaan.
Peta Sahara Barat yang menampilkan wilayah kekuasaan Maroko (kuning) & wilayah kekuasaan Polisario (merah). (rabble.ca) |
PERKEMBANGAN TERAKHIR
Berdasarkan kesepakatan damai antara kubu Maroko & Polisario di tahun 1991, referendum alias pemungutan suara rakyat untuk menentukan masa depan Sahara Barat seharusnya digelar di tahun 1992. Namun faktanya, referendum tersebut tidak pernah bisa dilaksanakan karena masih belum adanya kesepakatan yang jelas mengenai siapa saja yang boleh memberikan suaranya dalam referendum tersebut.
Kubu Polisario ingin agar para pemukim Maroko tahun 1975 ke atas tidak diperhitungkan karena mereka baru bermukim di Sahara barat saat sengketa dimulai & keberadaan merekadianggap terlalu berbau politis.
Kubu Maroko di lain pihak bersikeras agar para pemukimnya tersebut tetap punya hak memilih. Kubu Maroko juga mengklaim bahwa saat Spanyol menguasai Sahara Barat, banyak penduduk asli Maroko yang terusir dari Sahara Barat.
Perbedaan pendapat antara kubu Maroko & Polisario terus berlangsung hingga beberapa tahun berikutnya tanpa titik temu yang jelas sehingga pelaksanaan refendum pun jadi molor hingga waktu yang tidak pasti.
Sebagai akibatnya, di tahun 1996 PBB pun memutuskan bahwa upaya referendum Sahara Barat tidak jadi dilaksanakan & solusi baru untuk mengakhiri kasus sengketa di Sahara Barat diharapkan bisa segera ditemukan.
Kegagalan referendum tersebut lantas memunculkan opini bahwa untuk saat ini, kubu Maroko berhasil meraih "kemenangan" atas kasus sengketa tersebut. Dasar dari opini tersebut adalah kalau ternyata dalam referendum mayoritas rakyat Sahara Barat memilih merdeka, maka pengorbanan waktu & uang dari Maroko di Sahara Barat selama ini pun akan jadi sia-sia.
Hingga sekarang, status wilayah Sahara Barat masih terkatung-katung. Sebagian negara menganggap Sahara Barat sebagai bagian dari Maroko, sementara sebagian lainnya tidak mengakui kekuasaan Maroko atas Sahara Barat & lebih memilih mendukung negara RDAS bentukan Polisario.
Demonstrasi mendukung kemerdekaan Sahara Barat di Madrid, Spanyol. (policymic.com) |
Kendati mendapat dukungan dari sejumlah besar negara, kubu RDAS & Polisario yang saat ini masih bermarkas di Tindouf, Aljazair, tidak pernah bisa menjalankan aktivitas pemerintahannya di Sahara Barat karena sebagian besar wilayah tersebut masih dikuasai oleh Maroko.
Kalaupun ada sebagian wilayah Sahara Barat yang luput dari kontrol pemerintah Maroko, wilayah tersebut biasanya merupakan wilayah tandus yang miskin akan sumber daya alam & dipenuhi ranjau darat yang mematikan.
Beberapa proposal untuk menyelesaikan sengketa Sahara Barat sudah diajukan, namun lagi-lagi aneka proposal tersebut gagal terlaksana karena munculnya penolakan dari salah satu atau kedua belah pihak yang bersengketa.
Kubu Maroko menolak segala macam bentuk referendum & bersikeras agar Sahara Barat tetap jadi bagian dari negaranya. Kubu Polisario di lain pihak hanya menginginkan kemerdekaan sebagai solusi akhir perjuangan mereka.
Kalau sudah begini, rasanya bukan hal yang aneh kalau kasus sengketa Sahara Barat pada akhirnya tidak akan pernah bisa terselesaikan. Yang pasti, untuk menyelesaikan masalah sengketa berlarut-larut seperti ini, jelas diperlukan rasa saling percaya antara pihak-pihak yang berseberangan demi mendapatkan solusi bersama yang saling menguntungkan. - © Rep. Eusosialis Tawon
BIODATA
Nama resmi : Frente Popular de Liberacion de Saguia el Hamra y Rio de Oro
Tahun aktif : 1973 - sekarang
Area operasi : Sahara Barat
Ideologi : nasionalisme Sahara Barat
REFERENSI
BBC. 2011. "Western Sahara profile".
(www.bbc.co.uk/news/world-africa-14115273)
GlobalSecurity.org. "Western Sahara".
(www.globalsecurity.org/military/world/war/western-sahara.htm)
Wikipedia. "Polisario Front".
(en.wikipedia.org/wiki/Polisario_Front)
Wikipedia. "Western Sahara".
(en.wikipedia.org/wiki/Western-Sahara)
COBA JUGA HINGGAP KE SINI...
Berarti hingga sekarang daerah ini masih terus menjadi sengketa, ya?
BalasHapus@alamendah
BalasHapusIya, masih menjadi sengketa. Sampai sekarang statusnya masih belum jelas, antara negara sendiri atau termasuk wilayahnya Maroko
arab masih terus bersengketa
BalasHapussetiap daerah selalu ada gerakan perjuangan kemerdekaan.
demikian juga dengan Pulau Padang Riau, ingin merdeka dari jajahan RAPP
RAPP itu apa bos ?
Hapusbanyak orang juga muslim dunia yang mungkin nggak kenal apa itu sahara barat seperti saya baru kini kenal negeri tersebut
BalasHapussaya acungkan jempol utk blog ini...
BalasHapus@jemmy
BalasHapusTerima kasih untuk tanggapan positifnya :)
hello
BalasHapus