Pasukan koalisi di depan Monumen Tangan Kemenangan, Baghdad. (Sumber) |
Pernah membaca dongeng "Alice di Negeri Ajaib" (Alice in Wonderland)? Dongeng tersebut bercerita tentang gadis bernama Alice yang mengikuti seekor kelinci aneh pembawa jam yang masuk ke dalam lubangnya. Ketika Alice ikut masuk ke dalam lubang tersebut, ternyata ia malah terdampar di suatu tempat ajaib yang dipenuhi makhluk-makhluk aneh & hal-hal yang berada di luar dugaannya.
Puncaknya adalah ketika ia terancam dibunuh oleh pasukan manusia kartu yang menghuni tempat tersebut. Beruntung bagi Alice, pengalaman mencekam yang dialaminya tersebut ternyata hanyalah mimpi & ia tidak perlu khawatir lagi akan keselamatannya.
Jika ditarik ke ranah politik internasional, maka kisah yang dialami Alice bisa dijadikaan perumpaan untuk mendeskripsikan Perang Irak yang berlangsung pada tahun 2003 hingga 2011. Awalnya, AS & sekutunya menyerbu Irak dengan alasan pemimpin Irak sedang mengembangkan senjata pemusnah massal.
Pasca tumbangnya Saddam selaku pemimpin Irak, ternyata isu senjata pemusnah massal yang dituduhkan sebelumnya tidak terbukti. Namun nasi sudah menjadi bubur. Pasukan koalisi pimpinan AS sudah terlanjur masuk ke Irak, sehingga mereka tidak bisa meninggalkan Irak begitu saja sebelum negara tersebut pulih dari kekacauan yang timbul pasca invasi. Persis seperti Negeri Ajaib yang penuh dengan hal-hal tak terduga & menakutkan.
Tidak seperti Alice yang bisa meninggalkan Negeri Ajaib yang ada di balik lubang kelinci dengan hanya bangun dari tidurnya, AS tidak bisa melakukannya karena masalah yang sedang menimpa mereka di lubang kelinci (baca : Irak) benar-benar terjadi di dunia nyata. AS memang pada akhirnya menarik mundur seluruh tentaranya pada tahun 2011.
Namun alih-alih menyelesaikan masalah, tindakan yang dilakukan AS tersebut malah memberi peluang bagi kelompok militan ISIS / ISIL untuk muncul sebagai kekuatan baru di Timur Tengah. Akibatnya, mau tidak mau AS harus mengirimkan kembali pasukan udaranya ke Irak supaya ISIS tidak tumbuh menjadi semakin kuat, sekaligus membuat AS kembali terjebak di "lubang kelinci".
Peta Irak. (Sumber) |
LATAR BELAKANG
Irak adalah negara yang mayoritas penduduknya berasal dari etnis Arab & menganut agama Islam sekte Syiah. Namun kendati Irak memiliki komposisi penduduk sedemikian rupa, sejak tahun 1979 yang berkuasa di Irak justru adalah Saddam Hussein yang berasal dari sekte Sunni. Supaya bisa menancapkan kekuasaannya sambil merangkul penduduk Irak yang berasal dari agama manapun, Saddam menggunakan gaya pemerintahan sekuler & tangan besi dengan isu nasionalisme bangsa Arab sebagai ideologi utamanya.
Sejak pertama kali berkuasa, Saddam berambisi mengubah Irak menjadi negara adidaya Timur Tengah. Untuk mewujudkan ambisinya tersebut, Saddam pun menperkuat militer Irak secara besar-besaran. Salah satu metode yang digunakan oleh Saddam untuk memperkuat militer Irak adalah dengan mendukung proyek-proyek pengadaan senjata pemusnah massal seperti gas sarin, antraks, & nuklir. Sebagian persenjataan tersebut sempat digunakan ketika Irak terlibat perang dengan Iran pada tahun 1980 hingga 1988.
Tahun 1990, sebagai solusi untuk menambah cadangan minyak & memutihkan hutang-hutangnya dari Kuwait, Irak menyerang Kuwait pada tahun yang sama. Naas bagi Irak, invasi tersebut langsung diikuti dengan serangan pasukan koalisi pimpinan AS atas mandat dari PBB yang menganggap invasi Irak ke Kuwait sebagai upaya penjajahan.
Hasilnya, militer Irak berhasil dipukul mundur dari Kuwait pada tahun 1991 & PBB mengeluarkan resolusi baru yang intinya meminta Irak untuk menghancurkan stok senjata pemusnah massalnya. PBB juga menjatuhkan sanksi embargo ekonomi kepada Irak. Sebagai cara untuk mengawasi pelaksanaan resolusi tadi, PBB mengirim tim inspeksi ke Irak.
Seiring berjalannya waktu, senjata pemusnah massal yang dimiliki Irak mulai dihancurkan satu demi satu. Namun muncul kecurigaan kalau masih ada senjata pemusnah massal yang disembunyikan oleh Irak. Kecurigaan tersebut muncul karena dalam sejumlah kesempatan, pemerintah Irak terkesan mencoba mempersulit upaya tim inspeksi PBB untuk menyelidiki tempat-tempat yang diduga masih menyimpan stok senjata pemusnah massal.
George W. Bush. (Sumber) |
Tahun 2002, George W. Bush yang menjabat sebagai presiden AS menuduh Irak masih mengembangkan senjata pemusnah massal secara diam-diam. Tuduhan tersebut lantas diikuti dengan ancaman kalau AS & sekutunya akan melakukan invasi militer karena Irak dianggap akan tetap menyimpan senjata pemusnah massal jika Saddam Hussein tidak dilengserkan paksa.
Alasan lain kenapa AS ngotot ingin menyerbu Irak adalah karena Saddam dicurigai menjalin hubungan dengan kelompok ekstrimis Al-Qaeda yang setahun sebelumnya melakukan serangan ke gedung kembar World Trade Center (WTC). AS juga mengklaim kalau operasi militer diperlukan untuk mengakhiri kediktatoran Saddam & mengembalikan iklim demokrasi di Irak.
Tidak semua pihak mendukung ide AS untuk menginvasi Irak. PBB menganggap kalau upaya untuk menghilangkan keberadaan senjata pemusnah massal di Irak secara permanen tidak perlu menggunakan opsi militer. Ada pula yang beropini kalau AS berambisi menginvasi Irak karena hanya ingin menguasai minyaknya.
Lepas dari semua opini kontra tersebut, AS tetap merasa kalau invasi militer ke Irak harus dilakukan sesegera mungkin. Maka, pada bulan Maret 2003, AS beserta negara-negara sekutunya yang terdiri dari Inggris, Australia, & Polandia melakukan penyerbuan ke Irak, sekaligus mengawali pecahnya Perang Irak.
BERJALANNYA PERANG
Invasi Kilat ke Jantung Irak
Tanggal 20 Maret 2003, pasukan koalisi yang dipimpin oleh AS memulai invasinya dengan cara menghujani ibukota Baghdad memakai serangan udara & rudal-rudal Tomahawk. Tujuan serangan tersebut adalah untuk melumpuhkan ibukota Baghdad sehingga harapannya, koordinasi di luar Baghdad menjadi kacau & wilayah-wilayah Irak yang ada di luar Baghdad menjadi lebih mudah untuk ditaklukkan.
Tidak lama kemudian, pasukan darat koalisi yang diperkuat oleh kendaraan lapis baja mulai memasuki wilayah Irak dari arah Kuwait, negara tetangga Irak yang bersedia meminjamkan wilayahnya untuk dijadikan markas oleh pasukan koalisi.
Jika pasukan darat AS yang masuk dari arah Kuwait bertugas menyerbu Baghdad dari arah barat, maka pasukan Inggris bertugas menguasai Basra, kota terbesar di Irak selatan. Ketika mencapai kota Nasiriya, pasukan darat AS langsung mendapat perlawanan sengit dari pasukan Irak.
Sementara itu di Basra, dengan alasan untuk mencegah timbulnya korban sipil, pasukan Inggris yang awalnya sudah memasuki Basra memutuskan untuk mundur kembali & melakukan blokade di sekeliling kota. Baru pada tanggal 30 Maret, pasukan Inggris mulai digerakkan untuk menguasai Basra. Hasilnya, setelah melalui pertempuran sengit selama 1 minggu, kota Basra akhirnya berhasil dikuasai oleh pasukan Inggris.
Tank pasukan koalisi di Basra. (Sumber) |
Sementara itu di sebelah utara, pertempuran pecah di kota Najaf sejak tanggal 26 Maret menyusul diterjunkannya pasukan AS dari udara untuk merebut kota tersebut. 5 hari berselang, pasukan AS yang dibantu oleh tank & artileri akhirnya berhasil menguasai kota Najaf. Memasuki tanggal 3 April, pasukan AS akhirnya tiba di bandara yang terletak di sebelah barat Baghdad.
Sebagai langkah terakhir untuk mempertahankan Baghdad sekuat tenaga, Irak memerintahkan para tentaranya untuk menanggalkan seragam militernya & membaur dengan warga sipil. Irak juga menempatkan Pasukan elit Garda Republik-nya di Baghdad selatan karena adanya dugaan kalau serangan pasukan koalisi akan dikonsentrasikan di sana.
Tanggal 4 April, Irak mengirimkan pasukan milisi Fedayin untuk memukul mundur pasukan AS yang sedang menguasai bandara, namun gagal. Pasca serangan Fedayin tersebut, pasukan AS memulai serangannya untuk menguasai Baghdad dari arah utara & berhasil menghancurkan banyak tank Irak dalam prosesnya.
Tiga hari kemudian, giliran sisi timur Baghdad yang menjadi sasaran penyerbuan divisi lain pasukan AS. Hasilnya, pada tanggal 9 April Baghdad akhirnya berhasil dikuasai oleh pasukan AS. Sementara itu jauh di utara, pasukan spesial AS yang dibantu oleh pasukan pemberontak dari etnis Kurdi (Peshmerga) berhasil menguasai kota Mosul pada tanggal 11 April.
Patung Saddam Hussein yang sedang dirobohkan. (Sumber) |
Saddam Tumbang, Masalah Bermunculan
Walaupun pasukan koalisi sudah berhasil menguasai kota-kota penting di Irak sejak bulan April, baru pada bulan Desember pasukan koalisi berhasil menangkap Saddam. Di sisi lain, keberhasilan pasukan koalisi di medan perang ternyata membawa konsekuensi lain.
Runtuhnya rezim Saddam beserta sistem birokrasi yang sudah dibangunnya meninggalkan kekosongan kekuasaan yang berujung pada lumpuhnya aktivitas pemeritahan & melonjaknya kriminalitas di seantero Irak. Untuk mengatasinya, pasukan koalisi pun mendirikan badan pemerintahan sementara di Irak dengan nama Coalition Provisional Authority (CPA; Wewenang Sementara Koalisi).
Selain mendirikan pemerintahan transisi untuk menggantikan pemerintahan era Saddam, pasukan koalisi juga melakukan penyisiran untuk menemukan stok senjata pemusnah massal yang masih disembunyikan oleh pemerintah Irak.
Namun kendati sudah bersusah payah, pada tahun 2005 pasukan koalisi akhirnya mengakui kalau pemerintah Irak sudah tidak lagi mengembangkan senjata pemusnah massal. Sementara stok senjata pemusnah massal yang berhasil ditemukan aslinya sudah kadaluarsa & merupakan persediaan dari sebelum tahun 1991. Hujan kritik pun langsung menimpa pasukan koalisi yang dianggap bertindak gegabah & asal menyerbu negara lain dengan tuduhan yang ternyata tidak terbukti.
Konflik bersenjata di Irak sendiri masih terus berlangsung dalam skala yang lebih kecil kendati Saddam sudah tidak lagi berkuasa. Sisa-sisa anggota Partai Baath - partai politik pimpinan Saddam - memilih untuk melanjutkan perang dengan taktik gerilya dengan harapan bisa membawa partainya kembali menjadi penguasa Irak.
Selain mereka, ada pula kelompok Jaish Al-Mahdi (Tentara Al-Mahdi) yang juga terlibat konflik dengan pasukan koalisi & beranggotakan pemuda-pemuda Islam Syiah. Kelompok lain yang juga terbentuk pada periode ini adalah Jamaah At-Tauhid wal Jihad (JTJ; Jamaah Keesaan & Jihad) yang beranggotakan orang-orang Islam Sunni garis keras & kelak bertansformasi menjadi kelompok cabang Al-Qaeda di Irak (AQI).
Parade Jaish Al-Mahdi. (Sumber) |
JTJ / AQI menjadi salah satu alasan utama di balik terus memburuknya kondisi keamanan Irak karena selain memerangi pasukan koalisi, JTJ juga kerap meledakkan bom di wilayah berpenduduk mayoritas Syiah.
Akibatnya sudah bisa ditebak. Penduduk Syiah di Irak yang merasa tidak terima kemudian melakukan pembunuhan balasan kepada penduduk yang berasal dari sekte Sunni, sehingga timbullah aksi saling bunuh antara penduduk masing-masing sekte agama. Di Irak timur laut yang mayoritas penduduknya berasal dari etnis Kurdi, kondisinya relatif lebih damai karena komposisi penduduknya jauh lebih seragam.
Membangun Irak yang Lebih Stabil
Tahun 2005, di bawah pengawasan pasukan koalisi, Irak menggelar pemilu untuk menentukan badan pemerintahan baru sebagai pengganti CPA. Hasilnya, Nouri Al-Maliki yang berasal dari etnis Arab & sekte Syiah berhasil terpilih sebagai perdana menteri baru Irak, sementara Jalal Talabani yang berasal dari etnis Kurdi & sekte Sunni terpilih sebagai presidennya.
Sepintas, pemilihan kepala negara & pemerintahan yang berasal dari golongan berbeda bisa menjadi solusi untuk meredakan konflik sektarian di Irak. Namun yang terjadi justru adalah kondisi keamanan di Irak semakin kacau pasca bocornya video hukuman gantung Saddam Hussein di tahun 2006.
Sebagai solusi untuk memperbaiki masalah keamanan tadi, pemerintah AS langsung mengambil sejumlah langkah penting. Jumlah tentara AS di Irak ditambah. Orang-orang Sunni Irak direkrut & dilatih menjadi milisi bernama "Sahwat" (Kebangkitan) supaya bisa membantu menumpas AQI tanpa khawatir bakal terbentur masalah sektarian. Militer Irak diberi pelatihan & tambahan persenjataan yang lebih mutakhir.
Hasilnya, perlahan tapi pasti, insiden bom bunuh di Irak terus menurun. Bahkan pada tahun 2010, pasukan koalisi yang dibantu oleh militer Irak berhasil menewaskan pemimpin AQI, Abu Omar Al-Baghdadi.
Sementara itu di AS, semakin banyaknya tentara AS yang tewas & tersedotnya anggaran negara untuk membiayai operasi militer di Irak membuat membuat popularitas presiden George Bush & Partai Republik terus merosot.
Helikopter AS di atas kota Baghdad. (Sumber) |
Hal tersebut lantas dimanfaatkan oleh Barrack Obama - kandidat presiden AS yang berasal dari Partai Demokrat - di mana Obama berjanji kalau dia akan menarik mundur pasukan AS di Irak & Afganistan kalau dirinya sukses terpilih. Hasilnya, pada tahun 2008 Obama berhasil terpilih menjadi presiden baru AS & Obama pun mulai merumuskan rencana penarikan mundur pasukan AS dari Irak secara bertahap.
Penarikan mundur pasukan AS di masa pemerintahan Obama akhirnya dimulai pada bulan Agustus 2010. Tidak semua pasukan AS ditarik keluar Irak pada periode tersebut karena pasukan AS yang belum ditarik mundur masih dibutuhkan untuk menjadi penasihat & bala bantuan bagi militer Irak. Baru pada bulan Desember 2011, sisa-sisa pasukan AS di Irak ditarik mundur sepenuhnya, sekaligus menandai berakhirnya Perang Irak & masa pendudukan pasukan koalisi asing yang sudah berlangsung selama 8 tahun.
KONDISI PASCA PERANG
Seperti halnya perang-perang yang terjadi di tempat lain, Perang Irak juga membawa korban jiwa yang sama sekali tidak sedikit. Tidak diketahui secara pasti berapa jumlah korban tewas dalam Perang Irak, namun jumlahnya diperkirakan mencapai hampir setengah juta jiwa.
Banyak dari korban tewas tersebut merupakan korban dari konflik sektarian antara milisi Sunni & Syiah. Ada pula korban tewas dari warga sipil yang timbul akibat serangan pasukan koalisi, mengingat milisi yang diperangi oleh pasukan koalisi memiliki kebiasaan untuk menyamar & membaur di pemukiman padat penduduk.
Keberadaan pasukan koalisi di Irak pasca tumbangnya rezim Saddam sendiri menuai pro & kontra. Mereka yang pro menganggap bahwa kacaunya kondisi Irak pasca lengsernya Saddam membuat pasukan koalisi harus tetap berada di sana hingga kondisi keamanan di negara tersebut mengalami perbaikan.
Mereka yang kontra menganggap kalau pasukan koalisi tetap bertahan di Irak hanya karena ingin menguasai sumber minyak yang ada di Irak. Mereka juga menuding kalau keberadaan pasukan koalisi di Irak justru malah melambungkan pamor kelompok-kelompok militan berbasis agama, karena kelompok-kelompok tadi mencitrakan diri mereka sebagai pejuang melawan penjajahan asing.
Sudah disinggung sebelumnya kalau sejak tahun 2006, yang menjabat sebagai presiden Irak adalah Nouri Al-Maliki yang berasal dari golongan Syiah. Selama berkuasa, Maliki dituding kerap mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang hanya menguntungkan golongannya, misalnya menjadikan golongan Sunni sebagai sasaran razia & mempersulit keinginan orang-orang Sunni untuk menempati kursi pegawai negeri.
Bukan hanya itu, pemerintahan Maliki juga dituduh menelantarkan milisi-milisi Sahwat karena janji Maliki untuk memberikan kenaikan upah & pekerjaan tetap untuk para milisi tadi tidak kunjung dipenuhi. Dikombinasikan dengan masih belum meratanya perbaikan ekonomi di Irak, luka lama antara masing-masing golongan agama di Irak pun mulai terbuka kembali.
Demonstrasi orang-orang Sunni di Fallujah, Irak barat. (Sumber) |
Memanasnya hubungan antara masing-masing sekte di Irak & masih kurang terampilnya aparat keamanan Irak lantas dijadikan sasaran empuk oleh AQI. Dengan memanfaatkan Suriah yang sedang dilanda perang saudara sebagai markasnya, AQI yang di masa Perang Irak nyaris bubar sukses membangun kembali kekuatannya. Bahkan pada tahun 2013, AQI mendeklarasikan pendirian "negara" bernama ISIS / ISIL di mana wilayah kekuasaan ISIS mencakup Irak utara & Suriah timur.
Ketika kondisi keamanan di Irak utara semakin berlarut-larut, AS & sekutunya pun terpaksa mengirimkan kembali militernya untuk membantu menggempur ISIS. Perang Irak memang sudah berlalu, namun kondisi keamanan "Negeri 1.001 Malam" tersebut masih jauh dari kata damai... - © Rep. Eusosialis Tawon
RINGKASAN PERANG
Waktu & Lokasi Pertempuran
- Waktu : 2003 - 2011
- Lokasi : Irak
Pihak yang Bertempur
(Negara) - Irak pasca Saddam, koalisi multinasional pimpinan Amerika Serikat
(Grup) - Peshmerga
melawan
(Negara) - Irak era Saddam (Maret-April 2003)
(Grup) - Baath, milisi-milisi Sunni
melawan
(Grup) - milisi-milisi Syiah
Hasil Akhir
- Kemenangan pasukan koalisi atas pasukan Irak era Saddam
- Konflik bersenjata masih berlanjut hingga sekarang
Korban Jiwa
Sekitar 500.000 jiwa
REFERENSI
BBC News - Who are Iraq's Mehdi Army?
National Geographic - Half-Million Iraqis Died....
NPR - Iraq WMD Timeline
PBS - Operation Iraqi Freedom
RFERL - What Drives Sunni Anger In Iraq?
The New York Times - The Iraq-ISIS Conflict....
Wikipedia - Sectarian violence in Iraq (2006–07)
Wikipedia - Iraq War
- . 2008. "Iraq". Encyclopaedia Britannica, Chicago.
Zelin, A. Y.. 2014. "The War between ISIS and al-Qaeda". (file PDF)
COBA JUGA HINGGAP KE SINI...
hmm...bisa jadi pada ahirnya irak terpecah menjadi 3 negara,berdasar kan etnis dan sekte yng berkonflik,dimana etnis kurdi begitu kuat keinginan nya untuk mendirikan negara sendiri.
BalasHapustapi apapun itu,mudah2an kedamaian segera tercipta disana.
Sampai saat ini, saya masih mengigat saddam., mudah" kita akan menemukn kembli pemimpin yg kuat dan tanguh memperjuangkan agama allah seperti beliau. #Amain
BalasHapusTerimasi atas tulisan admi.
Perang Irak yang berlangsung 8 tahun sejak Maret 2003 - Desember 2011 ada 3 pelajaran penting yang bisa kita ambil :
BalasHapus1. Kondisi Irak saat berlangsungnya invasi AS sudah melemah akibat dijatuhkan embargo senjata dan ekonomi oleh PBB pasca Perang Teluk. Akibatnya, militer Irak tak mampu utk melawan pasukan koalisi pimpinan AS. Ditambah sikap paranoid yg kerap menghukum mati pejabat militernya krn curiga akan menggulingkannya turut memperlemah kekuatan militer Irak.
2. Peran negara-negara muslim dan Arab yg bersedia bekerjasama dgn pasukan koalisi pimpinan AS. Arab Saudi, Yordania, Kuwait, Qatar, Bahrain, Emirat Arab, Oman & Turki turut berperan dalam kehancuran Irak.
3. Pasca kematian Saddam, diketahui bahwa Irak di era Saddam masih lebih baik daripada era Irak sekarang. Khususnya dlm memerangi kelompok militan seperti Al-Qaeda dan ISIS.