Pasukan pemanah Inggris dalam Perang 100 Tahun. (todayinhistory.blog) |
Inggris & Perancis adalah 2 negara Eropa yang lokasinya saling berseberangan. Jika Inggris terletak di Kepulauan Britania (British Isles) yang terletak di sebelah utara Benua Eropa, maka Perancis terletak di daratan Eropa itu sendiri.
Karena kedua negara memiliki lokasi yang berdekatan, bukan hal yang aneh jika kemudian Inggris & Perancis dalam perjalanan sejarahnya banyak terlibat interaksi. Satu dari sekian banyak interaksi tersebut adalah konflik militer berkepanjangan yang dikenal dengan sebutan "Perang 100 Tahun".
Perang 100 Tahun / Perang Ratusan Tahun (Hundred Years' War; Guerre de Cent Ans) adalah sebutan untuk perang yang terjadi antara Inggris & Perancis pada tahun 1337 hingga 1453. Perang ini sendiri dipicu oleh konflik perebutan tahta Kerajaan Perancis antara raja Inggris & bangsawan asal Perancis pasca wafatnya raja Charles IV.
Walaupun Perang 100 Tahun berlangsung dalam kurun waktu yang amat panjang, perang ini sendiri bukanlah konflik militer yang berlangsung tanpa putus-putus karena ada sejumlah periode damai & gencatan senjata yang terselip di antara perang.
LATAR BELAKANG
Walaupun Perang 100 Tahun baru dimulai pada abad ke-14, akar dari perang ini bisa ditelusuri sejak abad ke-11. Pada periode tersebut, William selaku bangsawan asal Normandy (suatu daerah di Perancis utara) memimpin pasukannya untuk menyerbu Inggris yang saat itu sedang dikuasai oleh bangsa Anglo-Saxon.
Invasi tersebut berakhir dengan kemenangan pasukan William sehingga sejak itu baik wilayah Inggris maupun Normandy sama-sama berada di bawah kekuasaannya. William kelak memiliki sejumlah anak yang keturunannya tersebar di Inggris & Perancis.
Masalah kepemilikan Normandy akhirnya terselesaikan setelah pada tahun 1259, perwakilan Inggris & Perancis meresmikan Traktat Paris. Via traktat ini, Inggris mengakui kekuasaan Perancis atas Normandy. Sebagai gantinya, wilayah Guyenne yang terletak di Perancis barat diakui sebagai wilayah milik raja Inggris.
Peta Inggris & Perancis di abad ke-11. (globalsecurity.org) |
Tahun 1328, Charles IV selaku raja Perancis meninggal tanpa sempat meninggalkan anak laki-laki. Kegaduhan pun langsung timbul mengenai siapa tokoh yang sebaiknya menjadi penerus Charles. Ada 2 tokoh utama yang mengklaim dirinya sebagai pewaris tahta Charles.
Tokoh pertama adalah Philip (kelak dikenal dengan nama gelar Philip VI), bangsawan daerah Valois sekaligus sepupu dari Charles. Tokoh kedua adalah Edward III, raja Inggris sekaligus putra dari saudara perempuan Charles. Rapat pun kemudian diselenggarakan oleh dewan Perancis untuk memutuskan masalah tersebut.
Karena hukum yang berlaku di Perancis hanya mengakui mereka yang berasal dari garis keturunan laki-laki sebagai pewaris tahta kerajaan, dewan pun memutuskan kalau Philip bakal menjadi raja Perancis yang baru. Namun Philip ternyata masih belum puas atas keputusan tersebut.
Karena ia khawatir kalau Edward bakal memanfaatkan wilayah miliknya di Guyenne untuk menyerang Perancis dari 2 arah sekaligus, Philip pun kemudian mengambil alih wilayah Guyenne secara paksa pada tahun 1337. Tindakan Philip tersebut tak pelak membuat Edward merasa murka, sehingga dimulailah Perang 100 Tahun di tanah Perancis.
BERJALANNYA PERANG
Pergumulan di Atas Laut
Inggris bukanlah satu-satunya negara yang memusuhi Perancis dalam Perang 100 Tahun. Daerah Flanders yang sekarang terletak di Belgia bersedia membantu Inggris dalam perang ini karena sejak abad ke-13, Perancis dianggap terlalu banyak mencampuri urusan domestik Flanders.
Maka, Inggris pun berupaya menginvasi Perancis dengan cara mengirimkan pasukannya ke Flanders terlebih dahulu. Perancis di lain pihak sadar akan rencana invasi Inggris sehingga mereka mencoba melakukan segala cara untuk mencegat pasukan Inggris di laut. Situasi tersebut lantas menjadi penyebab pecahnya pertempuran laut antara armada laut Inggris melawan armada Perancis di lepas pantai Sluys, Flanders.
Berkat datangnya bala bantuan dari Flanders, pasukan Inggris berhasil memenangkan pertempuran ini sehingga upaya Inggris untuk mengirimkan pasukan & logistik ke daratan Eropa pun menjadi tak terbendung lagi. Sesudah Pertempuran Sluys, Inggris & Perancis setuju untuk melakukan gencatan senjata hingga tahun 1345 berkat perundingan yang difasilitasi oleh Paus.
Lukisan mengenai Pertempuran Sluys. (Alonso de Mendoza / wikipedia.org) |
Seperti yang sudah bisa diduga, konflik antara Inggris & Perancis kembali meletus tidak lama sesudah masa gencatan senjata berakhir. Sejak bulan Juli 1346, pasukan Inggris yang berkekuatan 4.000 prajurit jarak dekat & 10.000 pemanah secara perlahan bergerak ke arah selatan sambil meluluh lantakkan wilayah-wilayah yang dilewatinya.
Saat pasukan Inggris berjarak semakin dekat dengan ibukota Paris, pasukan Perancis yang turut diperkuat oleh pasukan pemanah sewaan asal Genoa (Italia) kemudian dikirimkan untuk mencegat pasukan Inggris. Sadar kalau pihaknya bakal dicegat oleh pasukan Perancis, Edward kemudian memerintahkan pasukan Inggris untuk mundur kembali ke Crecy, Perancis utara.
Tanggal 26 Agustus 1346, pasukan Perancis akhirnya tiba di Crecy & pecahlah pertempuran antara pasukan Perancis melawan pasukan Inggris. Di tengah-tengah berlangsungnya pertempuran, hujan lebat mendadak turun di atas Crecy sehingga pasukan pemanah dari kedua belah pihak harus mengeringkan tali busurnya.
Di sinilah perbedaan jenis busur menjadi faktor utama yang menentukan akhir pertempuran. Karena busur longbow yang digunakan oleh pasukan Inggris memiliki struktur yang lebih sederhana dibandingkan pistol busur (crossbow) yang digunakan oleh pasukan pemanah Genoa, tali busur pasukan Inggris bisa kering lebih cepat.
Tanpa adanya dukungan pemanah yang memadai, pasukan berkuda Perancis pun mati bergelimpangan akibat menjadi sasaran empuk pasukan pemanah Inggris. Pertempuran Crecy pun berakhir dengan kemenangan gemilang pasukan Inggris.
Lukisan mengenai Pertempuran Crecy. (Froissart's Chronicles) |
Pasca Pertempuran Crecy, pasukan Inggris kemudian melanjutkan perjalannya menuju kota Calais yang terletak di pantai utara Perancis. Setelah melakukan pengepungan selama berbulan-bulan, penduduk Calais yang dilanda kelaparan akhirnya menyerah & membiarkan Inggris menduduki kota tersebut pada tahun 1347.
Karena Calais letaknya berseberangan langsung dengan pesisir Inggris, kota tersebut kemudian dimanfaatkan oleh Inggris sebagai markas sekaligus batu loncatan untuk melancarkan invasi lebih jauh ke bagian pedalaman Perancis.
Petaka Wabah di Tengah Perang
Rencana invasi tersebut sempat tertunda selama beberapa tahun akibat munculnya wabah penyakit Maut Hitam (Black Death) yang menerjang seantero Eropa. Kondisi lebih parah harus dialami oleh Perancis karena selain terkena wabah, Perancis juga harus kehilangan rajanya setelah Philip meninggal pada tahun 1350.
John II kemudian dilantik menjadi raja Perancis yang baru & ditantang untuk memperbaiki kondisi Perancis yang tengah terpuruk. Di pihak yang berseberangan, pasukan Inggris memanfaatkan rapuhnya kondisi Perancis dengan melakukan aksi-aksi penjarahan di wilayah Perancis.
Tahun 1356, pasukan Inggris & Perancis kembali terlibat pertempuran besar, di mana lokasinya kali ini bertempat di Poitiers, Perancis tengah. Karena lokasi pertempuran dipenuhi oleh lumpur & semak-semak yang notabene menyulitkan pergerakan pasukan jarak dekat, pertempuran ini berakhir dengan kekalahan telak pasukan Perancis. Sudah jatuh tertimpa tangga, Perancis juga harus kehilangan rajanya karena pasukan Inggris berhasil menangkap John di akhir pertempuran.
Tahun 1360, John yang kini berstatus sebagai tahanan Inggris dipaksa menandatangani Traktat Bretigny. Berdasarkan traktat ini, Edward setuju untuk melepaskan klaimnya sebagai pewaris tahta Perancis. Namun sebagai gantinya, Perancis harus menyerahkan wilayah-wilayahnya di sebelah utara kepada Inggris.
John sendiri tetap berstatus sebagai tahanan Inggris hingga ajal menjemputnya di tahun 1364. Saat kabar mengenai wafatnya John sampai ke Perancis, putra John kemudian dilantik menjadi raja Perancis yang baru dengan nama gelar Charles V.
Naiknya Charles sebagai raja Perancis yang baru membawa dampak positif bagi Perancis di medan perang. Perlahan tapi pasti, pasukan Perancis berhasil merebut kembali wilayah-wilayahnya di sebelah utara yang sebelumnya dikuasai oleh Inggris & sekutunya.
Pada tahun 1372, armada Perancis yang dibantu oleh Castile (Spanyol) berhasil mengalahkan armada Inggris di lepas pantai La Rochelle, Perancis barat, sehingga Inggris tidak bisa lagi mengirimkan bala bantuan ke Calais. Sesudah itu, tidak ada lagi pertempuran skala besar yang terjadi di Perancis hingga akhir abad ke-14.
Tahun 1380, Charles VI dinobatkan sebagai raja Perancis yang baru. Memasuki tahun 1392, Charles terkena demam hebat & kejang-kejang. Sejak itu, Charles mengalami gangguan mental & tidak bisa lagi memimpin Perancis secara normal.
Bak memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan, Henry V selaku raja Inggris lantas menggunakan momen tersebut untuk mengklaim dirinya sebagai pewaris tahta Perancis yang sah. Ia juga mengirimkan pasukannya untuk menyerbu Perancis pada pertengahan tahun 1415.
Raja Inggris, Henry V. (Dcoetzee / wikipedia.org) |
Berjaya di Agincourt
Sadar kalau pasukannya kalah jumlah, Henry kemudian memancing pasukan Perancis untuk melakukan pertempuran di jalur sempit yang diapit oleh hutan. Hasilnya fantastis. Dengan memanfaatkan sempitnya medan tempur & jauhnya jarak tembak longbow, pasukan Inggris berhasil mengalahkan pasukan Perancis.
Tahun demi tahun berlalu, semakin banyak wilayah Perancis yang berhasil ditundukkan oleh Henry. Pada tahun 1419 misalnya, daerah Burgundy berhasil digandeng menjadi sekutu Inggris setelah pemimpinnya yang lama tewas terbunuh.
Situasi tersebut tak pelak membuat pemerintah pusat Perancis merasa gentar. Maka, berdasarkan kesepakatan damai di Troyes yang diresmikan pada tahun 1420, pemerintah Perancis mengakui klaim Henry sebagai pewaris tahta Perancis.
Henry juga diperbolehkan menikahi putri raja Perancis yang bernama Catherine. Namun di saat Henry tengah berada pada puncak kegemilangannya, kondisi kesehatannya justru malah semakin menurun hingga kemudian ajal menjemputnya pada tahun 1422.
Wafatnya Henry nyatanya tetap tidak banyak mengubah nasib Perancis di medan perang. Pada tahun 1424 misalnya, saat pasukan Perancis yang dibantu oleh Skotlandia menyerang pasukan Inggris di Verneuil, Perancis utara, serangan tersebut berakhir dengan kegagalan & Perancis harus kehilangan separuh pasukannya.
Nasib Perancis nampaknya bakal semakin suram sebelum kemudian sosok yang tidak diduga-duga muncul sebagai juru selamat mereka. Dan sosok tersebut adalah Joan of Arc / Jeanne d'Arc, gadis dari keluarga petani biasa yang kelak menjelma menjadi sosok panglima perang yang kharismatik.
Dari sekian banyak pertempuran yang diikuti oleh Joan, Pertempuran Orleans menjadi peristiwa yang melambungkan pamornya. Pada awalnya, pasukan Inggris melakukan pengepungan ke kota Orleans yang terletak di sebelah selatan Paris pada bulan Oktober 1428.
Saat persediaan makanan di Orleans semakin menipis & penduduk setempat mulai putus asa, pasukan Perancis yang dipimpin oleh Joan berhasil menerobos masuk ke dalam Orleans sambil membawa bantuan makanan pada akhir April. Seminggu berselang, pasukan gabungan Joan & Orleans melakukan serangan gabungan sehingga pasukan Inggris yang ditempatkan di sekeliling Orleans terpaksa mundur.
Nasib baik yang menaungi Joan sayangnya tidak berlanjut setelah pada tahun 1430, ia ditangkap oleh pasukan Burgundy di Compiegne, Perancis utara. Ia kemudian dipindahkan ke Rouen & dibakar hidup-hidup pada tanggal 30 Mei 1431.
Namun tewasnya Joan tidak lantas membuat Inggris bisa bernapas lega karena perlawanan yang diberikan oleh Perancis masih terus berlanjut. Justru pada tahun 1435, kekuatan Inggris di Perancis kian melemah setelah pemimpin Burgundy tidak mau lagi menjadi sekutu Inggris & menjalin aliansi dengan Perancis via Traktat Arras.
Peta lokasi Burgundy. (timemaps.com) |
Berdasarkan Traktat Arras, sejumlah daerah di Perancis diakui sebagai wilayah milik pemimpin Burgundy. Sebagai gantinya, Burgundy akan berhenti memerangi Perancis. Berkat dicapainya traktat tersebut, Inggris tidak lagi memiliki sekutu di Perancis sehingga upaya Inggris untuk mempertahankan sisa-sisa wilayahnya di Perancis menjadi kian sulit.
Tahun 1453, setelah melalui serangkaian pertempuran, Inggris kehilangan seluruh wilayah kekuasaannya di Perancis (kecuali kota pelabuhan Calais) sehingga berakhirlah Perang 100 Tahun dengan kegagalan Inggris menguasai Perancis.
KONDISI PASCA PERANG
Kekalahan Inggris dalam Perang 100 Tahun menimbulkan gelombang ketidakpuasan yang sangat besar terhadap raja Henry VI & tokoh-tokoh bangsawan Inggris yang terlibat dalam perang ini. Dampaknya, Henry merasa begitu tertekan sehingga ia menderita gangguan jiwa sejak tahun 1453.
Memburuknya kondisi kesehatan Henry & meruncingnya rivalitas antar golongan bangsawan di Inggris lantas memantik timbulnya Perang Mawar (Wars of the Roses) pada tahun 1455 antara aliansi bangsawan York yang menentang Henry, melawan alinsi bangsawan Lancaster yang mendukung Henry.
Di Perancis, dampak paling terasa dari perang ini adalah porak porandanya sejumlah wilayah di Perancis akibat perang. Meskipun begitu, perang ini juga membantu membangkitkan sentimen persatuan & solidaritas di antara sesama rakyat Perancis.
Fenomena itu sendiri bisa terjadi karena selama & sesudah perang, Charles VII selaku raja Perancis lebih suka memberikan pengampunan kepada wilayah-wilayah yang sebelumnya bekerja sama dengan Inggris. Memasuki tahun 1558, Calais yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan Inggris akhirnya berhasil dikuasai kembali oleh Perancis.
Joan of Arc. (history.com) |
Salah satu tokoh Perancis yang paling menonjol semasa Perang 100 Tahun adalah Joan of Arc. Sebagai bentuk penghormatan atas perjuangannya, Joan ditetapkan sebagai pahlawan nasional & tanggal kematiannya (30 Mei) diperingati sebagai hari libur nasional.
Festival nasional bertemakan dirinya juga digelar di Perancis setiap tahunnya pada bulan Mei. Lalu pada tahun 1920, Paus Benedict XV menganugerahkan gelar suci "santa" (saint) kepada mendiang Joan. Di kalangan pejuang hak-hak perempuan, Joan juga dipandang secara positif karena ia menunjukkan kalau kaum perempuan juga bisa menjadi pemimpin yang terampil.
Dalam jangka panjang, Perang 100 Tahun juga berdampak pada timbulnya sentimen rivalitas antara Inggris & Perancis hingga beberapa abad berikutnya. Saat semangat kolonisasi tengah melanda Eropa misalnya, Inggris & Perancis berlomba-lomba mencari wilayah kekuasaan baru di benua lain. Kemudian saat Napoleon Bonaparate naik menjadi kaisar baru Perancis pada akhir abad ke-18, Inggris giat menjalin aliansi dengan negara-negara musuh Perancis supaya Perancis tidak tumbuh menjadi terlampau kuat. - © Rep. Eusosialis Tawon
RINGKASAN PERANG
Waktu & Lokasi Pertempuran
- Waktu : 1337-1453
- Lokasi : Perancis
Pihak yang Bertempur
(Negara) - Inggris & sekutunya
melawan
(Negara) - Perancis & sekutunya
Hasil Akhir
- Kemenangan Perancis
- Inggris menguasai kota Calais hingga abad ke-16
Korban Jiwa
Tidak jelas
REFERENSI
- . 2008. "Calais". Encyclopaedia Britannica, Chicago, AS.
- . 2008. "Hundred Years' War". Encyclopaedia Britannica, Chicago, AS.
GlobalSecurity.org. "1337-1453 - Hundred Years War".
(www.globalsecurity.org/military/world/europe/hundred-years-war.htm)
Keen, M.. 2011. "The Hundred Years War".
(www.bbc.co.uk/history/british/middle_ages/hundred_years_war_01.shtml)
Mackenzie, J.. "Battle of Crecy".
(www.britishbattles.com/one-hundred-years-war/battle-of-agincourt/)
Mackenzie, J.. "The Battle of Agincourt".
(www.britishbattles.com/100-years-war/agincourt.htm)
Wheeler, L.K.. "The Hundred Years' War".
(web.cn.edu/kwheeler/hundred_years.html)
Y. Lanhers & M.G.A. Vale. 2008. "Joan of Arc, Saint". Encyclopaedia Britannica, Chicago, AS.
COBA JUGA HINGGAP KE SINI...
mantap! makasih buat artikelnya
BalasHapusTerima kasih artikelnya. Admin Republik saya mau tanya nih : Apa benar tewasnya Joan de Arc karna adanya konspirasi dari sesama org prancis yg tidak suka dengan keberhasilannya di medan perang ?
BalasHapusIya, benar. Soalnya Perancis sendiri pada masa itu kondisinya tidak benar-benar solid karena ada konflik antara faksi Burgundy & faksi Armagnac sejak tahun 1400-an. Waktu pemimpinnya faksi Burgundy tewas akibat dibunuh oleh anggota faksi Armagnac, Burgundy kemudian menjalin persekutuan dengan Inggris.
HapusMengenai peristiwa tertangkapnya Joan, Joan ditangkap saat ia sedang melindungi sisi belakang pasukan Perancis yang sedang mundur dari medan perang. Pas Joan tertangkap, sebenarnya Perancis bisa saja mengirimkan pasukan untuk membebaskan dirinya. Tapi karena raja Perancis pada waktu itu sedang mencoba memperbaiki hubungan dengan faksi Burgundy, akhirnya Perancis enggan menggunakan opsi militer untuk membebaskan Joan.
Joan sendiri akhirnya tewas setelah ia dihukum mati dengan cara dibakar hidup-hidup. Supaya hukuman matinya terkesan tidak mengandung muatan politis, Joan difitnah sebagai penganut aliran sesat.
Saya penasaran nih dari mana Joan belajar memimpin pasukan militernya dengan sukses padahal menurut artikel yg saya baca Joan kan orangnya buta huruf dan tidak pernah dididik secara kemiliteran dari kecil. Mohon pencerahannya ya Admin RET.
BalasHapusMin kapan-kapan tolong bahas bangsa bangsa Eropa abad pertengahan dong. Macam celtic,viking,saxon dll.
BalasHapusThank artikelnya min.
Ijin copy buat referensi....
BalasHapusMatur suwun